Sesuatu
yang membuat seorang politikus tidak bisa melakukan suatu perubahan yang
berdampak dalam kehidupan masyarakat adalah karena adanya transaksi politik
pragmatis dengan para Politikus lain dalam merebut kekuasaan. Hal seperti ini
terjadi ketika salah satu partai membangun koalisi dengan partai politik lain
untuk merebut tampuk kekuasaan politik di Pemerintahan. Contohnya, Partai X
membangun koalisi dengan partai Y. Pada saat partai Y melakukan korupsi, secara
otomatis partai X tidak bisa menuntut karena adanya transaksi politik untuk
mempertahankan kekuasaan. Pada akhirnya terjadi korupsi secara massal dan para
koruptor ini saling mendukung dan menutupi kasus korupsinya. Maka tidak
mengherankan apabila kadang dalam upaya memberantas korupsi di Republik ini,
terkesan tebang pilih.
Menjelang
Pilkada serentak 2018 saat ini dan beberapa Pil – pil lainya [Pilpres dan Pileg] 2019 kedepan, sebagian kalangan menyoroti politik transaksional ini. Diharapkan
kepada para calon pemimpin yang mencalonkan diri untuk bertarung, sebaiknya
tidak melakukan transaksi politik pragmatis agar bisa melakukan gebrakan dan
perubahan berarti yang berdampak bagi masyarakat luas. Karena selama transaksi
politik pragmatis masih berjalan dengan mulus, sangat sulit untuk melakukan kontrol
dan saling koreksi diantara masing – masing pemangku kekuasaan.
Memang
sepertinya sangat sulit untuk tidak melakukan transaksi politik dan membangun
koalisi, namun transaksi politik yang dibangun berpijak pada tanggungjawab
moralitas politik dan penegakkan demokrasi, dimata transaksi politik bukan
dengan tujuan meraih kekuasaan dan mempertahankan secara bersama – sama,
melainkan berusaha bangun kerja sama dalam kerja nyata untuk kepentingan
masyarakat. Dengan begitu, apabila ada yang melanggar hukum, maka tidak perlu
segan – segan untuk mengeluarkan pelakunya dan partai tempat dimana oknum
pelaku bernaung dikeluarkan dari partai peserta koalisi yang melakukan
kesalahan yang tidak bisa ditolerir dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang
bersih dan bermartabat serta benar – benar melayani rakyat.
Tetapi
sebaliknya, pemimpin yang terjebak dalam transaksi politik pragmatis, tidak
akan berarti apa – apa pada saat menemukan kerabat peserta partai koalisinya
melakukan kesalahan – kesalahan dalam system pemerintahan yang dipimpinnya.
Sebab apa yang dikedepankan adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan hingga
berakhirnya masa kepemimpinannya tanpa ada hasil dan kerja nyata bagi
masyarakat. Pemimpin yang tersandera dalam transaksi politik pragmatis
cenderung tidak mampu melakukan pembersihan atas orang – orang yang
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi disebabkan perasaan takut
dikeluarkan dari peserta koalisi dan penentang pemerintahan yang dipimpinnya.
Dari
ulasan singkat ini, beberapa kesimpulan yang dapat diambil :
1.
Seorang
pemimpin sebaiknya menghindari transaksi politik pragmatis dalam membangun
koalisi untuk mempertahankan kekuasaan. Sebab tidak berarti apa – apa bila
kekuasaan itu diisi oleh pejabat korup yang hanya mengedepankan kepentingan
pribadi dan kelompoknya, apalagi pejabat korup yang motivasi akhirnya untuk
mencuri hak – hak masyarakat.
2.
Sebaiknya
transaksi politik dijalankan atas dasar politik moral yang mengedepankan
kepentingan rakyat. Apabila terdapat oknum atau partai politik peserta koalisi
yang melakukan kecurangan, sebaiknya dikeluarkan agar bisa dituntut atas
perbuatanya melalui proses hukum positif.
Demokrasi
haruslah dibangun diatas tanggung jawab moral bila hendak mewujudkan
pemerintahan yang bersih. Adanya transaksi politik tanpa tanggung jawab moral
merupakan bibit unggul yang menghasilkan korupsi laten.
Terima Kasih.!
0 Response to "Mewaspadai Transaksi Politik Pragmatis"
Post a Comment