Sejak diberlakukannya UU No. 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua dan UU No. 25 tahun 1999
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah (yang kemudian direvisi pada
tahun 2004), maka implementasi dari Otonomi Daerah ( Papua dan Aceh Otonomi
Khusus karena ada ‘kekhususan’ di kedua daerah ini), maka daerah diberi peluang
untuk memenuhi pendapatannya secara mandiri dari sumber- sumber potensi yang
ada di daerahnya, maka beberapa hal kemudian menjadi perhatian karena implikasi
konflik yang menyertainya.
Ada beberapa dampak negatif atas
pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua selama ini(dampak negatif Otsus bagi
rakyat Papua sangat banyak namun dalam pembahasan ini saya memfokuskan pada
lingkungan hidup).
Pertama, pengelolaan hutan dan
‘perkebunan’. Salah satu sumber unggulan yang dimiliki daerah Papua adalah
Hutan. Hutan tidak hanya memiliki fungsi ekologis, tetapi memiliki pula fungsi
sosial, ekonomis. Hutan memberikan banyak kekayaan keragaman flora dan fauna
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, yang memberikan keuntungan ekonomis.
Karena itu, keberadaan hutan Papua dipahami oleh pemerintah dan kaki tangannya
(dalam hal ini orang Non- Papua yang mengeruk kekayaan alam di Papua), bukan
tidak dianggap sebagai ‘ibu’ yang memberikan makan kepada penduduk lokal dan
identitas masyarakat lokal tetapi mereka anggap sebagai sumber pendapatan yang
mendatangkan untung.
Buktinya, pemerintah dalam hal
ini gubernur setelah Pilkada dinyatakan duduk di Dok II ( gubernur) belum
sampai 1 bulan masa pelantikannya dengan semangat cari investor asing ke luar
negeri, para pendatang yang cari ‘makan’ (keuntungan) di Papua melakukan
penebangan hutan secara membabi buta karena pemerintah memberikan izin
operasional hutan (HPH) dan yang jadi pengawalnya adalah aparat, sehingga
masyarakat lokal yang punya hak ulayat tidak mampu bicara, karena mereka
mengantongi izin dari pemerintah.
Pengelolaan dan pemanfaatan
hasil hutan yang dilakukan masyarakat lokal dengan cara- cara yang tradisional,
yang didasari atas asas keseimbangan alam dan disesuaikan dengan kebutuhan,
sehingga tetap terjaga kelestariannya. Kearifan lokal masyarakat lokal dalam
mengelola hutan yang berlaku dalam masyarakat merupakan panduan bagi mereka
dalam memanfaatkan hutan dengan memperhatikan kepentingan ekologis hutan itu
sendiri.
Namun, industrialisasi telah
menggeser pola tradisional pemanfaatan hasil hutan. Kapitalisasi pengelolaan
hutan yang mendapatkan dukungan dari negara dan daerah berdampak luas, baik secara
ekologis, sosial, budaya dan ekonomi. Secara ekologi, kapitalisasi jelas akan
berdampak pada kerusakan lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang,
apabila pengelolaanya dengan tidak memperhatikan aspek pelestarian hutan
sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat lokal. Sedangkan dari aspek sosial dan
budaya, kapitalisasi pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menyebabkan
masyarakat asli yang selama ini menggantungkan kehidupan mereka pada keberadaan
hutan tersingkir oleh migrasi warga ‘amber’ yang berusaha untuk merambah hutan
yang selama ini mereka menggantungkan hidupnya. Sedangkan aspek ekonomi,
kapitalisasi hutan lebih memberikan keuntungan pada pemegang modal (kapitalis)
dan elite politik lokal daripada menguntungkan masyarakat lokal Papua.
Otonomi Khusus telah
mengembalikan dan memberikan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) pada daerah ternyata
membuka peluang perusakan hutan yang lebih parah dari sebelumnya oleh
‘raja-raja’ elite politik lokal yang juga mau merasakan berlimpahan uang dari
hasil hutan lewat kapitalis diatas penderitaan rakyat. Elite politik lokal,
inikah yang namanya pembangunan lewat Otsus yang mensejahterakan rakyat Papua
yang selama ini anda dengungkan itu?? .
Tiga laporan International
Crisis Group No. 19, 29, dan 39 mengenai kasus di Papua dan Kalimantan secara
jelas menggambarkan bagaimana masyarakat adat tergeser dari tanah leluhurnya
oleh karena yang mengelola tanah leluhur mereka kini adalah Jakarta lewat kaki
tangan setianya di daerah yang memiliki HPH. Masyarakat adat mengenal betul
bagaimana mereka harus memperlakukan hutan. Mana batang yang boleh di tebang,
dan mana yang tidak; mana tumbuhan obat, mana yang racun dan sebagainya. Bagi
para kapitalis yang diberi dan memiliki HPH tidak berlaku istilah yang
disebutkan diatas, yang ada di benak hati mereka adalah bagaimana mereka dapat
melipatgandakan kapitalnya. Hal ini wajar bagi kapitalis dan elite lokal,
karena daerah siap menerima investor asing, asal dapat memperoleh hasil dari
kapitalis sebagai balas jasa. Karena Otonomi khusus adalah khusus untuk
merampok hutan secara membabi buta, khusus untuk korupsi, khusus untuk
melakukan kebohongan publik dan kekhususan lainnya di Papua. Papuaku, engkau
yang selalu menjerit kesakitan karena manusia- manusia serigala selalu siap menguliti
kulitmu, Sampai kapan engkau berhenti menjerit?
"Melawan
Walau Tertawan"
*)
Penulis Adalah Mahasiswa Pada Salah Satu Institut Di Jakarta.
NB : Tulisan ini saya pernah
posting di beberapa web site yang dikelola anak - anak Papua.
0 Response to "Dampak Otonomi Khusus Terhadap Lingkungan Hidup Di Papua (I)"
Post a Comment