SPIRITUALISME KAUM ATEIS
Akibat keterbatasan kita memahami tuhan yang sebenarnya,
lebih tepat ia didefinisikan sebagai tiada daripada ada. Kategori-kategori
pengetahuan manusia mengalami keterbatasan dalam mendefinisikan konsep tuhan
yang transenden, sehingga pengertian tuhan selama ini dalam agama-agama
Abrahamik lebih bisa disebut sebagai berhala ketimbang tuhan yang sebenarnya. BACA : RATAPAN ORANG PERCAYA DI PEMBUANGAN
Di sisi lain, tuhan yang dipersepsikan masyarakat, oleh
Animisme Tylor dan Materialisme Feuerbach, telah ditelusuri bahwa daya – daya psikis dan
kepribadian manusia menjadi akar bagi munculnya konsep ketuhanan yang kemudian
kita kenal pengertian-pengertiannya dalam agama primitif, agama dewa-dewi
hingga agama Abrahamik. Tidak ada konsep ketuhanan yang bisa lepas dari bentuk
dan model kepribadian manusia. Ketuhanan yang ada sampai sekarang, adalahproduk
keterasingan manusia yang hidupnya dirampok oleh kenyataan (Marx), atau
proyeksi atribut kedirian manusia ke dunia luar (Feuerbach).
Bukan manusia sebagai citra tuhan, tapi citra manusia
adalah tuhan. Manusia
adalah pusat agama, ia menjadi sumber moralitas. Tujuan dari segala tindakan moral
sebesar-besarnya diarahkan demi kemanusiaan. Manusia adalah tujuan itu sendiri
bukan alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain. Pengorbanan demi kemanusiaan
menjadi ibadah pertama bahkan puncak tertinggi keutamaan (summum bonum), seperti dalam pengorbanan diri Yesus sebagai anak
manusia, adalah contoh keutamaan tertinggi dalam keberagamaan.
Manusia adalah alasan beradanya sejarah dan alam semesta.
Keberadaan manusia menentukan eksistensi lain yang tidak bisa menjelaskan
dirinya sendiri. Manusia menjadi tujuan terciptanya sejarah dan alam semesta.
Oleh karena itu, manusia adalah fakta moral. Tubuhnya, darahnya, air matanya, keringatnya,
perasaannya, kehendaknya, naluri instingnya, jiwanya, inderawinya, cita-citanya dan
segala hal yang menempel secara inhern pada eksistensi manusia menjadi bahan
diskursus moral.
Manusia merupakan alasan beradanya (raison d'etre) moralitas. Moralitas tidak perlu lagi didasarkan pada paham
ketuhanan yang neurotik dan
delusif. Ketuhanan tidak bisa menyatukan agama-agama yang berbeda-beda,
karena banyak agama yang tidak memiliki konsep ketuhanan, semisal agama totem,
dan yang lainnya. Ketuhanan bukanlah elemen yang paling mendasar dari agama.
Paham ketuhanan juga tidak mampu menyatukan umat manusia. Kesetaraan, persamaan, dan kebebasan didasarkan dalam
watak diri manusia itu sendiri, bukan di luarnya. Keadaan dan nasib umat
manusia dalam struktur dasar masyarakatlah yang menjadi asas persamaan dan
kesetaraan dalam perjuangan sejarah.
Dunia telah memperlihatkan bagaimana perbedaan paham
ketuhanan menciptakan perselisihan, perang dan teror kemanusiaan yang sampai
sekarang tidak kunjung berakhir. Yang menyatukan agama-agama bukanlah doktrin
tentang ketuhanan, atau kewahyuan dan kitab suci, tetapi kemanusiaan yang luhur
dan alamiah. Elemen mendasar dalam agama bukan terletak pada paham ketuhanannya
yang otoritarian, tapi gambaran tentang manusia yang terus menerus bersetubuh
dengan dunia. Seandainya
tuhan bukan lagi pusat agama, maka spiritualisme yang mewujud bersama sifat dan
eksistensi ketuhanan sudah tidak bermakna lagi. LIHAT : AGAMA ADALAH CANDU
Mistisisme
atau gairah spiritual tidak lagi mendasarkan pada pengalaman ketuhanan,
tapi meresapi hakikat dan pengalaman kemanusiaan. Mistik baru bersumber dari
hakikat kemanusian, bukan kegaiban dan ketuhanan. Menyatu dengan kehidupan
manusia jauh lebih menghidupi daripada menyatu dengan wujud tuhan. Menyentuh
tubuh manusia yang malang dan penuh derita sengsara merupakan dasar-dasar
kenabian baru. Kenabian tidak lagi diturunkan dari wahyu dan atribut ketuhanan,
melainkan dinubuwahkan melalui penautan diri dengan kehidupan para kaum
pecundang yang terkalahkan oleh kenyataan. Di mana ada kemiskinan, kebodohan,
keterasingan, dehumanisasi, atau eksploitasi, benih-benih kenabian akan
berkecambah. Pentahbisan kenabian baru disematkan oleh rasa kemanusiaan.
Meresapi penderitaan umat manusiamerupakan roh yang menghidupkan rantai
kenabian secara terus menerus.
Kenabian baru (new
prophecy) mengabarkan tentang era dan munculnya manusia utama. Manusia yang
berani mendepak tuhan dari tahta agama. Kenabian tidak lagi mengabarkan
janji-janji tuhan tentang surga dan akhirat, tapi imperatif yang mendesak kita
untuk berpetualang di dunia serta menjadikan semesta sebagai bukti kebenaran
agama yang mendarah daging dengan manusia. Kenabian dan mistisisme baru tidak
lagi meraba-raba dunia supranatural yang gaib, tetapi merasakan nikmat siraman
panas cahaya matahari di tengah jalanan, menahan beban derita lapar dan
kekurangan, menggerakkan tangan dan kaki di tengah lumpur bebatuan, menarik
secarik kertas berharga dengan memikul karung beras di pelabuhan, atau
membusungkan dada di depan laras senjata kekuasaan yang korup dan otoritarian.
Meresapi derita hidup manusia merupakan impuls penggerak naluri mistik untuk
menuju pengalaman puncak keberagamaan, yaitu turun dari langit perenungan ke
tengah keramaian manusia demi membangun kembali masyarakat dan negara, maka
realisasi ibadah mistik yang paling utama adalah pengorbanan demi kehidupan
umat manusia, menghidupi kehidupan. Oleh karena itu, manusia dan alam raya
dengan segala isinya adalah bahan-bahan nyata bagi pengalaman spiritual dan
mistisisme baru.
Manusia yang memiliki spiritualisme humanis akan melihat
dirinya dalam angin yang melambai-lambai, pohon-pohon yang sedang
bercengkerama, dinding-dindingyang berbisik, hewan-hewan yang mengajak bergurau
atau sinar matahari yang menyemangatkan raga. Alam raya adalah citra diri
manusia, semuanya menjadi bagian dari dirinya. Ketika manusia melihat wajah alam, sebenarnya
ia sedang menyaksikan dirinya sendiri. Langit adalah dada manusia, air bumi
adalah cucuran keringat kita, pohon-pohon adalah kaki-kaki kita, udara adalah
nafas kita, dan seterusnyaa. Cukup dengan mengarahkan indera pada rerumputan
atau langit biru, manusia sudah bisa merasakan kegembiraan dan ekstase yang
meluap-luap. Salah satu ciri mistik yang dewasa adalah gerak simplisitas dan
kesederhanaannya, contohnya ekstase yang ditimbulkan intensi inderawi pada
objek-objek alam dan makhluk hidup lainnya, tanpa harus menyepi, mengasingkan
diri dan bertapa dari naluri insting kita. Mistik baru bukan mencari kesendirian dan
perenungan, tapi bercampur ditengah keramaian dan mewujudkan diri dengan tindak
material demi penyempurnaan essensi manusia yang terdalam. Inderawi manusia
adalah sumber sensasi spiritual yang alamiah. Di sini, kita menolak ekstase
yang ditimbulkan oleh intuisi ketuhanan yang sebenarnya berakar dalam patologi
yang neurotik dan delusif. Intuisi pewahyuan dan misitisisme ketuhanan
merupakan ekspresi keberagamaan yang kekanak-kanakandan belum dewasa. TOPIK TERKAIT : YESUS, SANG GURU REVOLUSIONER YANG SOSIALIS!
Watak alamiah manusia sebagai insting kreatif yang
membentuk kebudayaan, adalah cikal bakal bagi munculnya agama, oleh karena itu
budaya merupakan rembesan dari semangat keberagamaan, atau lebih ekstrim lagi
budaya adalah agama
itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz, agama merupakan sistem
kebudayaan yang dengannya manusia bersikap, berhadapan dan memperlakukan
kenyataan, ia membentuk pikiran, perasaan, tingkah laku, dan kesadaran
individu-individu, penulis menyebutnya agama historis. Dengan mendefinisikan
agama sebagai kebudayaan yang menyejarah, dan bukan lagi hal-hal yang bersifat supranatural dan metafisik,
tentu manusia akan menjadi bahasan utama, karena budaya adalah sesuatu yang
bersifat manusiawi. Dalam perspektif ini, budaya diartikan sebagai tindak
aktivitas manusia yang dihasilkan bukan karena interaksi dengan dunia
supranatural, juga bukan karena respon terhadap kabar
pewahyuan. Yang menciptakan nilai dan budaya bukanlah wahyu melainkan manusia.
Peradaban atau kebudayaan bukan dinamai peradaban tuhan atau nubuwwah tetapi
peradaban manusia. Hubungan manusia dengan budaya bukanlah hubungan dengan
wahyu, tetapi hubungan dengan pemikiran dan tindakan yang dilaksanakan oleh
manusia, (Adonis; 2007). Budaya juga berkaitan dengan daya-daya dan potensi
alamiah manusia, karena peradaban atau budaya dihasilkan dari swa-cipta dan
aktualisasi diri manusia di tengah sejarah dan alam semesta. Kebudayaan adalah
proses tumbuh kembang kedirian manusia demi pemenuhan kebutuhan dasarnya
sehingga mekar potensi-potensi
alamiahnya yang terdalam.
Maka, meski seseorang telah beriman kepada tuhan, itu
bukan jaminan kalau ia beragama, karena ibadah yang sebenarnya tidak lagi
ditujukan pada tuhan tapi pada segala hal yang bersifat kemanusiaan. Kami
menyebut jenis agama di atas sebagai agama kemanusiaan, agama tanpa wahyu,
lawan dari agama pewahyuan yang mendasarkan ajarannya pada fundamen ketuhanan.
Agama wahyu yang mengajarkan bahwa kehidupan manusia hanya demi sebuah ibadah
pada tuhan yang berdiri sendiri di luar, adalah tindak pengingkaran atas
kemaanusiaan. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keterasingan manusia dari
dirinya sendiri. Perwujudan agama ditentukan bukan seberapa besar rasa iman
kita pada tuhan tetapi seberapa besar kita mencintai dan mengorbankan diri demi
kemanusiaan. Imperatif dasar dalam agama bukan ditopangkan pada wahyu yang
delusional tapi pada cahaya batin dalam setiap individu manusia. Yang membedakan
antara agama kemanusiaan dan agama wahyu adalah, yang pertama
menjadikan manusia sebagai sumber moral keutamaan, dan yang kedua meletakkan
sumber moral dalam kepercayaan pada tuhan yang delusif dan neurotik sebagai
asal-usul kebaikan. Yang pertama bersifat antroposentris dengan menopangkan
moralitas pada asas kesadaran (consciousness) manusia,
sedangkan yang kedua bersifat teosentris dengan mendasarkan moralitas pada
wahyu ketuhanan yang muncul dari pikiran alam bawah sadar (unconscious mind) yang patologis, karena asal-usul wahyu memiliki
akar-akarnya dalam kekacauan psikologis (tesis ini bisa dilihat dalam bab
terakhir di buku Agama Skizofrenia).
Catatan penulis, tidak ada paham tengah yang disebut teo-antroposentris,
karena ia tidak berpendirian dan tidak jelas konsistensinya. Ketuhanan yang
metafisik tidak bisa menjadi fakta moral. Kegaiban, magi, mana, tabu, kesucian,
jin, dewa, setan, malaikat dan semisalnya, bukanlah bahan-bahan diskursus moral
dan juga bukan elemen mendasar dari agama. Fakta moral harus dirumuskan dari
asas dan elemen yang menjadi sumber dari segala sumber moralitas. Fakta moral harus berangkat dari
realitas yang konkret, meski dari yang konkret ini nanti muncul metafisika dan
falsafah moral. Maka, yang paling layak menjadi fakta moral adalah manusia,
mulai dari tubuhnya, jiwanya,
kehendaknya, instingnya, air matanya, hingga ujung jarinya yang terkecil.
Akibatnya, metafisika dan falsafah yang muncul dari manusia yang riil tersebut
dinamai kemanusiaan. Disiplin ilmu-ilmu budaya atau humaniora
(geisteswissenschaften) bersumber dari metafisika dan falsafah kemanusiaan ini.
Dalam diri manusialah, yang awal dan yang akhir bertemu.
Roh, setan, jin, malaikat, dewa-dewa bahkan tuhan, berasal dari kedirian
manusia. Ia merupakan titik awal keberangkatan falsafah, ilmu pengetahuan,
agama dan budaya, semuanya mengabdi demi manusia. Keabadian ada dalam
kemanusiaan. Seluruh atribut-atribut alam raya menempel dalam eksistensi manusia. Jagat raya
yang tak terbatas termampatkan dalam pikiran kita. Tidak ada yang lebih
luhur selain manusia. Memang manusia itu lemah dan kerdil, tapi tanpanya alam
semesta tidak memiliki makna. Manusialah pusat singularitas dan gravitasi
semesta. Kelahirannya menjadi tujuan perjalanan evolusi sejarah dan alam
semesta.
Cerita bahwa kaum Ateis tidak memiliki moralitas dan rasa
kemanusiaan, itu adalah mitos besar. Melabeli kaum anti-tuhan sebagai tidak
memiliki wawasan
spiritual dan naluri kerohaniahan adalah pandir. Dalam berbagi hal, ateisme
justru merupakan tingkatan tertentu dalam pendakian puncak pengalaman
keberagamaan. Sering pikiran skeptis seorang Ateis menjadi titik tolak bagi
lahirnya pembaruan keagamaan. Buku ini berisi uraian lepas yang berusaha
menunjukkan dan meyakinkan kepada pembaca bahwa kaum Ateis yang selama ini
dianggap sebagai orang yang tidak beragama, ternyata memiliki denyut dan pesona
mistisisme yang kuat dan mengagumkan. Mereka, meski Ateis, memiliki getaran
semangat religiositas menyala-nyala, mengalahkan iman para agamawan yang
penakut dan tidak memadai, karena tersihir kebun magis surga yang imajiner. Artikel Lainnya : ASAL USUL AGAMA
Mengapa para kaum Ateis banyak mengumandangkan komentar miring
terhadap agama dan konsep ketuhanan yang sedang dianut oleh masyarakat pada
waktu itu? Mereka menyerang agama, karena agama pada masanya dianggap gagal
dalam melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan. Mereka menafikan tuhan,
bukan mereka tidak meyakini tuhan itu sendiri, tetapi menolak konsep
atau formula ketuhanan yang dipercayai masyarakat pada saat itu karena tidak
mampu membebaskan kekuatan kreatif manusia justru menjadi ruang pelarian dari
kenyataan yang ada. Mereka Ateis disebabkan ketuhanan dan agama yang ada
membunuh insting dan watak alamiah manusia yang sebenarnya, atau malah
memundurkan sikap kritis dan nalar yang seharusnya ditujukan pada realitas
kebudayaan kita. Bagi mereka, agama dan ketuhanan harus diformulasikan kembali
sesuai dengan semangat zamannya, karena bukannya makin memperhalus watak dan
akal-budi manusia, malah membuat tenaga, pikiran dan mental kita tercerabut.
Semakin manusia men? sifati dirinya dengan tuhannya masyarakat, semakin ia
tidak memiliki kehidupan dan berkurang potensi-potensi alamiahnya.
Keyakinan pada agama dan ketuhanan yang otoritarian akan memandulkan sifat kemanusiaan
kita.
Karena agama berpusat pada manusia, tentu pengertian dan
pemahaman kita yang memadai akan falsafah manusia menentukan bagaimana agama
bisa bersetubuh dalam kenyataan dunia. Contohnya, pengertian manusia utama (prime human) tidak lagi bisa dijelaskan
dari perspektif tasawuf yang metafisik-spekulatif, semisal Insan Kamil dari Ibn
Arabi yang menerangkan bahwa manusia merupakan manifestasi atau tajalli tuhan,
tapi tipe manusia harus didefinisikan dari kegiatannya dalam dunia, dari
tindakan materialnya atas sejarah atau semangat zamannya yang menghembuskan roh
pada tubuh. Bagaimana kita
bisa menghubungkan jenis manusia ilahiah tersebut dengan realitas kontemporer,
seperti dunia ilmu pengetahuan-teknologi dan industrialisasi yang sudah
meninggalkan jauh era tasawuf yang primitif? Falsafah dan tasawuf Islam selama
ini menjelaskan pengertian manusia dalam term
metafisik-spekulatif yang jauh dari realitas. Kita tidak bisa menatap masa
depan dengan kaca mata pengertian yang tak memiliki cahaya dalam melihat realitas
kekinian. Apabila pengertian manusia ilahiah tersebut diyakini oleh sebagian
besar umat islam, tentu akan membuat mereka terasing dari kenyataan sejarah.
Definisi manusia harus berangkat dari kenyataan, meskipun dalam perjalanan
waktu, definisi ini akan selalu berubah sesuai dengan realitas sosial yang
dinamis. Pengertian manusia yang metafisik-spekulatif condong ahistoris,
konstan dan tidak memadai dalam mendukung proses pembangunan dan pemekaran
potensi-potensi alamiah
manusia di tengah pusaran kenyataan.
Ketidakmampuan kita dalam memberi makna
eksistensi kita sebagai manusia dalam pusaran kenyataan merupakan titik awal
kematian manusia sebagai subyek dan pengendali sejarah.