GOLPUT, BUKAN SOLUSI CERDAS UNTUK PERBAIKI DEMOKRASI KITA

GOLPUT, BUKAN SOLUSI CERDAS UNTUK PERBAIKI DEMOKRASI KITA


Gambar Ilustrasi @ Kampanye Pemilihan 2014

Menjelang pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang hendak dilaksanakan pada (17/04) atau kurang dari satu bulan mendatang, mengisahkan beragam cerita. Memasuki masa kampanye politik, partai politik gencar melakukan perang urat syaraf guna menarik simpati publik demi meraih kemenangan pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Tidak mengherankan bila jalan – jalan saat ini banyak dihiasi oleh berbagai atribut baliho, umbul – umbul, pamflet, stiker dan berbagai bendera serta spanduk partai politik. Namun disisi lain, kelompok lain yang mengatasnamakan diri sebagai Golongan Putih (Golput) pun mulai menunjukkan eksistensinya mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang.

Golput muncul di Indonesia sejak pemilu 1971 atas gagasan Arief Budiman dan kawan – kawannya yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggap tidak demokratis dengan melakukan pembatasan terhadap jumlah partai politik peserta pemilu. Sebagai bentuk perlawanan atas pembatasan jumlah partai tersebut, Arief Budiman dan kawan – kawannya menyatakan untuk tidak memilih. Adapun disebut golongan putih karena mereka pada umumnya mereka tetap melakukan pencoblosan, hanya saja yang dicoblos adalah bagian pada kertas berwarna putih sehingga suaranya tetap tidak sah.

Seiring berjalannya waktu dan majunya demokrasi di Indonesia, angka golput terus mengalami peningkatan setiap ada ajang perhelatan pesta demokrasi ini. Golput yang pada awalnya adalah gerakan protes yang berdiri sendiri di kalangan masyarakat yang kritis, kini telah menjelma menyatu ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan mencari alternatif dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsip – prinsip demokrasi Universal.

Secara umum, masyarakat memilih golput dikarenakan berbagai faktor, namun beberapa faktor dominan di kalangan pemilih golput adalah :
1. Faktor psikologis (kekecewaan terhadap elit politik).
2. Faktor administratif.
3. Faktor liberalisasi politik.

Dari ketiga faktor tersebut di atas, faktor psikologis menjadi salah satu faktor pemicu tingginya angka golput di lapangan.

Mayoritas masyarakat berpendapat bahwa hampir semua elit politik tidak bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Mereka hanya disibukkan dengan proyek – proyek mereka untuk memperoleh keuntungan demi mengembalikan modal saat kampanye. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya elit politik yang terjerat hukum akibat kasus korupsi. Hal ini semakin membuat simpatisan golput menampakkan dirinya, bahkan tidak segan – segan mengajak masyarakat untuk memboikot pemilu karena pemilu merupakan alat “tangan – tangan kotor” untuk menjarah masyarakat. Simpatisan golput menilai dengan melakukan golput, maka kita turut berpartisipasi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Di era demokrasi, semua orang memang diberi kebebasan untuk bersuara, kebebasan untuk memilih dalam pemilu dan termasuk kebebasan untuk tidak memilih alias golput. Namun, apakah masalah demokrasi harus diselesaikan dengan golput?

Di sini saya berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah politik dan demokrasi di negeri ini tidak harus dilakukan dengan golput. Sebabnya, dengan melakukan golput, masyarakat tidak menghargai perjuangan demokrasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan dulu masyarakat memprotes Pilpres hanya dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat dengan alasan tidak demokratis dan menuntut bisa menyalurkan hak suaranya sebagai warga negara.

Golput juga tidak akan bisa membuat perpolitikan Indonesia menjadi lebih baik, pasalnya sebanyak apa pun masyarakat yang golput tidak akan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Masyarakat harus sadar bahwa golput bisa juga menjadi ancaman karena sekuat apa pun golput, pemerintah akan tetap berjalan bahkan jika hanya ada satu orang di Indonesia ini yang mencoblos.

Sudah cukup 20 tahun kita tertatih dalam reformasi, sekarang inilah saatnya untuk kita memilih wakil rakyat (DPR) dan Presiden yang bisa mendengar suara kita, suara kalau kita bisa. Tetapi selama kita masih memilih untuk menjadi golongan putih (golput), demokrasi kita akan rusak. Karena suara seorang profesor dengan suara seorang preman sama – sama dihitung satu. Suara orang yang memilih karena analisa dan suara orang yang memilih karena dibayar sama – sama dihitung satu. Makanya jangan ada yang golput. Karena kita semua adalah harapan Indonesia agar tidak memilih orang yang salah. Jika kita ingin memperoleh pemimpin yang baik, maka harus menggunakan hak pilih agar kedaulatan yang dimiliki tidak sia – sia. Golput hanyalah pilihan bagi masyarakat apatis yang tidak memiliki sikap, pilihan bagi masyarakat yang ragu akan perubahan.

Mari gunakan hak pilih anda dalam pemilu guna memilih pemimpin yang mengerti suara kami, yaitu suara bahwa "KAMI BISA".




JANGAN GOLPUT.!