KEGILAAN SEBAGAI JALAN PEMBEBASAN
Banyak yang telah membahas film Joker ini. Namun, jarang atau hampir tidak ada yang memahaminya berdasarkan perspektif teori tertentu, semisal Falsafah Nietzsche atau Psikoanalisa Sigmund Freud. Dengan kedua perspektif di atas, akan membantu kita memahami Arthur Joker dari sisi yang tidak sama pada kebanyakan orang.
Mengatakan Arthur itu delusional, halusinatif, mengalami siksaan dan trauma sejak kecil, sering dikecewakan dan disakiti banyak orang, itu tidak cukup untuk memahami tokoh ini. Bagi penulis, yang juga telah mengalami siksaan skizofrenia selama 20 tahun mirip Arthur, kegilaan bukan saja penyebab tindakan-tindakan amoral yang dianggap sadis dan mengerikan, justeru merupakan proses pembebasan dari represi. Sejak kecil Arthur mengalami tekanan mental, ekspresi yang tak tersalurkan, susah mengungkapkan diri, juga seks yang hanya mungkin dinikmati secara halusinatif. Obat-obatan bukan membantu membebaskan diri dari tekanan hidup, malah makin menekan pikirannya yang ingin mengungkapkan diri. Ibunya yang mengajarkan untuk selalu tersenyum bahagia pada orang lain, psikiaternya yang arogan tidak mau mendengarkan dan sedikit mau merasakan seandainya jadi seperti dia, mewakili otoritas moral yang menekan dan menghalangi kediriannya yang hendak mengekspresikan diri. Di mana intinya, pikiran baik justru menghancurkan kepribadian alamiah seseorang. Kita perlu mendengar pikiran kita yang terdalam, meskipun terkesan buruk dan jahat. Itulah organisme yang disebut manusia.
Dengan melepaskan kategori harus menjadi orang baik, justeru membuat Arthur merasa lega dan terbebaskan. Kegilaan yang berhasil menerobos keluar dari jeruji tahanan moral menjadikannya tidak hancur oleh tekanan tekanan harus menjadi orang baik. Pikiran harus menjadi orang baik tidak selamanya membuat kita menjadi manusia. Jadilah Arthur, tokoh revolusioner, yang membuka selubung topeng kota Gotham yang menyembunyikan kemiskinan, amarah massa, ketidakadilan, kemunafikan yang konon hendak diselamatkan oleh ayah Batman, yang kaya raya di tengah ketimpangan material akut dan tidak bisa merasakan penderitaan banyak orang.
