![]() |
| Foto : Dok. Pribadi - FB |
Oleh : Ibrahim Peyon
Pertama dianalisa latar belakang dibentuknya Persekutuan
Gereja-Gereja di Papua, di mana Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura
sebagai salah satu cabangnya. Lembaga ini dibentuk oleh beberapa orang pemimpin
gereja masa itu sebagai pembangkangan terhadap persatuan gereja-gereja Papua
yang lebih kritis dan berdiri bersama orang Papua untuk membela keadilan atas
pelanggaran HAM. Khusus gereja Kingmi, Baptis dan GKI-TP pada masa kepemimpinan
pendeta Awom dan pendeta Jemima.
Beberapa manta pemimpin gereja
khusus GKI-TP, GIDI dan Uskup Jayapura akhirnya sepakat untuk membentuk Persekutuan Gereja - Gereja Papua [PGGP] dan melibatkan beberapa gereja lain yang tidak memiliki basis yang kuat dalam
masyarakat Papua.
Kelompok ini berusaha menghindar
dari sikap kritis dari kelompok yang pertama di atas dan lebih dekat dengan
pemerintah dan para pejabat militer di tanah Papua. Dalam perkembangannya PGGP
lebih pada pro pemerintah dan beberapa pemimpin gereja secara terang-terang berjuang untuk mempertahan pendudukan Indonesia di tanah Papua selama ini.
Mereka tidak pernah berbicara tentang pelanggaran HAM yang dialami oleh umat
mereka sendiri. Terakhir kelompok ini terlibat dan mobilisasi massa untuk
mendukung Ahok, gubernur Provinsi Jakarta ketika dia terlibat dalam persoalan
hukum karena penistaan agama tertentu.
Pada saat yang sama seorang ustad
asal Fakfak ini secara terang-terangan menghina Misionaris, budaya Papua dan
perempuan Papua. Tujuannya jelas untuk membangkitkan emosi dan kemarahan orang
Papua. Selama ini kelompok muslim di Papua khusus orang asli Papua tidak
terlalu jauh terlibat dalam perjuangan Papua, meskipun ada terbatas pada isu
HAM dan membangun wacana politik di media massa. Tetapi perjuangan secara
progresif belum terlihat secara kuantitas (ada tapi dalam jumlah terbatas).
Termasuk ustad ini tidak terlalu dikenal dan lebih banyak waktu dihabiskan di
pulau Jawa (seperti disebutkan Ismael Asso).
Bila dilihat dari latar belakang
itu ditemukan relasinya jelas bahwa keduanya lebih kepada kekuasaan dan pro
Jakarta. Keduanya mempunyai relasi dan mempunyai tujuan tertentu yang hendak
dicapai dari dua peristiwa ini. Persoalan utama bukan menara Masjid dan
penghinaan terhadap orang Papua dan misionaris, tetapi lebih besar dari itu.
Ada dua target yang hendak
dicapai di sini:
Pertama, membangun konflik horizontal antara orang Kristen dan Muslim sebagai pintu masuk untuk menciptakan lahan pembantaian orang asli Papua. Dengan itu pemerintah cuci tangan dan diarahkan pada konflik horizontal, maka isu pelanggaran HAM tidak berlaku di sini.
Pertama, membangun konflik horizontal antara orang Kristen dan Muslim sebagai pintu masuk untuk menciptakan lahan pembantaian orang asli Papua. Dengan itu pemerintah cuci tangan dan diarahkan pada konflik horizontal, maka isu pelanggaran HAM tidak berlaku di sini.
kedua, dengan konflik horizontal
ini dapat mengalihkan konsentrasi perjuangan orang Papua untuk kemerdekaan yang
sudah mendapat dukungan internasional saat ini. Termasuk membangun opini di
dunia internasional bahwa kekerasan dan pelanggaran di Papua adalah konflik
horizontal dan kriminal.
Namun demikian dua isu ini tidak
menjadi perhatian serius oleh rakyat Papua dan hal ini dapat tergambar dalam
demonstrasi Oikumene pada hari senin kemarin, dimana konsentrasi massa tidak
terlalu besar seperti dalam demonstrasi perjuangan bangsa Papua. Hal ini juga
didukung para pemimpin papua baik pihak gereja, pemerintah dan tokoh muslim
telah mengelola secara baik dalam perdamaian dan persaudaraan mereka selama
ini. Agar tidak melebar luas.
Penulis adalah pengajar tetap pada Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura - Papua dan saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Jerman.

0 Response to "Pelarangan Pembangunan Masjid dan Penghinaan Terhadap Misionaris Di Papua"
Post a Comment