Kejadian
yang saya ulas dalam postingan ini merupakan kejadian yang benar – benar
terjadi didepan mata saya, dan saya menyaksikan dengan mataku sendiri.
Jadi
begini kejadiannya. Sebulan yang lalu [Pertengahan Januari], saya hendak
berangkat ke Jayapura untuk suatu urusan. Setelah saya lapor diri di loket dan
mendapat boarding pass, sambil menunggu penerbangan pesawat balik dari Wamena –
Dekai yang selanjutnya ke Sentani, saya naik ke lantai atas gedung terminal
Bandar udara Nop Goliat Dekai – Yahukimo untuk membeli rokok [Maklum, saya
termasuk perokok paling aktif].
Sedikit
gambaran untuk ruang gedung terminal. Jadi, Gedung terminal Dekai – Yahukimo
terdiri dari 2 [dua] lantai. Di lantai bawa, pintu pertama adalah ruang
keberangkatan. Kemudian beberapa pintu di sebelahnya di bagian tengah merupakan
loket pembelian tiket pesawat untuk maskapai penerbangan yang melayani rute
dari dan ke Dekai – Wamena – Sentani dan sebaliknya. Pintu paling ujung
merupakan ruang kedatangan. Tangga menuju lantai atas gedung berada ditengah
diantara beberapa pintu loket tiket. Sedangkan
lantai atas seluruhnya merupakan café bandara yang menyediakan minuman dan
makanan ringan.
Kembali
ke topik postingan. Sesampainya di lantai atas, saya memesan secangkir kopi dan
membeli satu bungkus rokok Surya. Setelah saya bayar, saya duduk dekat jendela kaca
yang menghadap ke arah lapangan terbang, sambil membelakangi susunan kursi dan
meja yang digunakan para pengunjung untuk duduk sambil makan dan minum. Selang
beberapa menit, masuk salah satu pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah [SKPD]
dengan rombongan dan mereka pun langsung memesan kopi sembari duduk di deretan
kursi yang tersusun rapi.
Sesaat
setelah duduk, si pejabat tersebut menghardik dan memaki si pelayan kafe
tersebut tanpa alasan yang saya belum ketahui secara pasti. “Eh…. Ko tau sa kah
tidak? Ko tau sa ini siapa? Ko pu boss siapa?”
[Eh… Kamu tahu saya atau tidak? Kamu tahu saya ini siapa? Kamu punya
atasan siapa?], itulah beberapa pertanyaan hardikan yang menghujani si pelayan bertubi – tubi. Terakhir dia bilang, mau kerja itu layani yang benar saja,
seolah – olah dia sendiri kerja dengan baik dan benar.
Atas
pertanyaan orang sombong tersebut, ketika dia bertanya saya jawab dalam hati :
Eh,… ko tau sa kah tidak? Memangnya ko siapa jadi dia harus tau?, Kamu tau sa
ini siapa? Memangnya ko siapa jadi? Ko pu boss siapa? Ko mau tau untuk apa?
Sambil
menjawab dalam hati, saya merenung dan menyadari beberapa hal atas sikap
sombong dan angkuh pejabat birokrat Pemerintah yang tidak punya etika tersebut.
Beberapa hal yang saya menyadarkan saya adalah bahwa :
1. Orang kecil [seperti pelayan kafe tersebut], dengan
tingginya mobilitas kesibukan dalam melayani para pembeli, kadang tidak ikut
berita tentang orang sombong dan angkuh seperti itu.
2. Orang kecil merupakan orang
– orang hebat yang kerja keras hanya untuk sesuap nasi untuk menghidupi
keluarga.
Bagi
saya secara pribadi, salud sekali dengan orang – orang yang dianggap kecil dan
para pekerja keras yang tidak mengharapkan belas kasihan orang. Para pejabat
[PNS], merupakan para pemalas yang tidak beruntung, yang biaya hidupnya
ditanggung oleh Negara dengan membiayai hidup mereka setiap bulan yang mereka
terima dan menyebut dengan gaji.
Sebagai
pejabat birokrasi Pemerintah, sikap sopan santun mutlak ditunjukkan kepada
masyarakat umum, supaya sikap sopan santun mereka tidak perlu dipertanyakan
lagi.
---BERSAMBUNG-----
0 Response to "MEMPERTANYAKAN ETIKA PEJABAT BIROKRASI PEMERINTAH [Bagian Pertama]"
Post a Comment